Akhir Tahun di Pantai Goa Cina
Pantai Goa Cina adalah satu pantai di Kabupaten Malang. Nama tempat ini sebenarnya adalah pantai “Rowo Indah”. Ceritanya bermula pada tahun 1950-an. Ada seorang biksu (etnis cina) yang bertapa di sebuah goa di sekitar pantai tersebut. Kemudian ia meninggal tanpa diketahui penyebabnya. Ketika ditemukan, yang tersisa hanya tulang belulangnya saja, dengan sebuah mangkok dan tulisan mandarin di langit - langit goa. Hingga akhirnya goa tersebut dikenal dengan sebutan Goa Cina. Nama “Goa Cina” pun lebih populer dan menggeser nama pantai “Rowo Indah”.
Suatau hari di Bulan Desember seorang sahabat menghubungi
saya. Lewat percakapan pesan singkat, ia mengutarakan keinginannya untuk
berkunjung ke Malang Selatan. Sebagai seorang pendatang, ia tertarik untuk mengenal
tempat wisata di sekitarnya. Lantas meminta saya menemani kunjungan perdananya
tersebut.
Kami sepakat memilih penghujung akhir tahun sebagai waktu
berkunjung (31/12/2017). Dengan konsekuensi mungkin terkena imbas macet panjang.
Tidak ada perencanaan yang matang. Semua mengalir begitu saja. Bahkan tujuaan perjalanan
ini belum ditentukan ketika akan berangkat.
“Yang penting pantai, Kamu yang lebih tahu”, ucapnya pada saya pagi itu. Seketika saya dipaksa menentukan. Tidak mudah, mengingat ini pengalaman pertamanya. Jadi pilihannya harus yang terbaik.
“Yang penting pantai, Kamu yang lebih tahu”, ucapnya pada saya pagi itu. Seketika saya dipaksa menentukan. Tidak mudah, mengingat ini pengalaman pertamanya. Jadi pilihannya harus yang terbaik.
Malang selatan memang dikenal memiliki garis pantai yang
panjang. Dari barat ke timur ada sekitar seratusan pantai – pantai ternama. Dan
tentu saja belum semua sempat saya singgahi. Hanya empat pantai saja yang
sudah, itu adalah Pantai Balekambang, Pantai Nganteb, Pantai Gatra dan PantaiTiga Warna.
Cukup lama saya berjibaku dengan ponsel. Mencari referensi
yang paling cocok. Memilih satu dari sekian banyak daftar pantai yang semuanya
menarik. Dari sekian banyak pantai yang ada, pilihannya jatuh pada pantai Goa
Cina. Ini juga akan menjadi pengalaman pertama saya menginjakkan kaki di pantai
itu.
Pukul 9 pagi kami berangkat dari pusat kota. Mengambil rute
Gadang, Bululawang dan Gondanglegi. Dengan
tujuan akhir Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Benar saja efek libur akhir tahun
membuat jalanan lebih padat. Beruntung kami menggunakan motor, sehingga cukup leluasa
menembus riuhnya kendaraan.
Memasuki wilayah pegunungan, Jalannya semakin sempit dan
berkelok - kelok. Bonus pemandangan alam hijau segera menyertai kami. Namun harus
tetap waspada. Karena ada sebagian jalan curam yang menantang. Sesekali kami
juga melintasi sungai berbatu dengan airnya yang jernih. Menembus hutan, dan
menyaksikan langsung sawah berundak tersusun rapi.
Hampir 2 jam lamanya kami menempuh perjalanan. Akhirnya
sampai juga di Jalur Lintas Selatan (JLS) Malang. JLS adalah mega proyek yang
akan menghubungkun semua kota yang ada di selatan Jawa. Di Kabupaten Malang
sendiri sudah rampung sekitar 24 kilometer. Menghubungkan wilayah Balekambang
dan Sendangbiru yang dulu aksesnya sangat sulit.
Hari sudah siang ketika kami melintasi JLS. Kami pun memutuskan
menepi dari badan jalan. Pilihannya adalah sebuah warung sederhana. Menyantap
nasi pecel menjadi ritual yang menyenangkan siang itu. Saat puncak libur
seperti ini banyak dijumpai pedagang dadakan. Tidak hanya warung saja, pedagang
buah dan sempol (cilok) juga turut memeriahkan pesta libur akhir tahun ini.
Suasana Jalur Lintas Selatan Malang |
Beranjak dari istirahat, perjalanan berlanjut. Motor kembali
kami pacu melintasi bukit – bukit hijau nan eksotis. Sebelum sampai ke pantai
Goa Cina ada lokasi pantai lain yang kami lewati. Jumlahnya cukup banyak.
Diantaranya Pantai Nganteb, Pantai Ngudel, Pantai Batu Bengkung dan berlanjut
melewati jembatan lengkung bajul mati yang terkenal itu.
Pukul 11.27
kami tiba di Dusun Tumpak Awu, Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan,
Kabupaten Malang (Jawa Timur). Lokasi dimana Pantai Goa Cina berada. Sebuah
gapura besar berarsitektur cina di seberang jalan menjadi petunjuk yang jelas. Dari
gapura tersebut masih ada 1,4 km jalan yang harus ditempuh. Sebagian besar
sudah beraspal, hanya saja masih ada sebagian lagi yang berupa makadam.
Memasuki
pos, motor kami diberhentikan. Dari bilik loket petugas mengeluarkan tiga
lembar karcis masuk. Semuanya harus ditebus dengan uang tiga puluh ribu rupiah.
Dengan rincian karcis masuk seharga Rp.10.000,- per orang dan uang parkir
sebesar Rp.10.000,- per motor. Disisi lain kami melihat antrian motor dan mobil
pribadi yang mengular.
Mengapa dinamai pantai Goa Cina ?
Ini mungkin
sedikit aneh. Mengingat lokasinya berada di Malang. Nama tempat ini sebenarnya
adalah pantai “Rowo Indah”. Ceritanya bermula pada tahun 1950-an. Ada seorang
biksu (etnis cina) yang bertapa di sebuah goa di sekitar pantai tersebut.
Kemudian ia meninggal tanpa diketahui penyebabnya. Ketika ditemukan, yang
tersisa hanya tulang belulangnya saja, dengan sebuah mangkok dan tulisan
mandarin di langit - langit goa. Hingga akhirnya goa tersebut dikenal dengan
sebutan Goa Cina. Nama “Goa Cina” pun lebih populer dan menggeser nama pantai
“Rowo Indah”.
Untuk masuk ke dalam goa, pengunjung harus menaiki tangga terlebih dulu |
Petualangan
sebenarnya baru dimulai. Dari pintu parkir kami bergegas keluar. Mengikuti
jalan yang membawa kami tepat disebelah bukit. Riuh orang mengantri sudah
memenuhi bagian tangga bukit tersebut. Mereka rela berdesakan demi melihat rupa
goa diatas sana.
Pantai Goa
Cina memiliki garis pantai sepanjang 800 meter. Saya membaginya menjadi dua,
bagian barat dan timur. Keduanya dipisahkan oleh sebuah bukit karang yang
menjorok ke laut. Jika dilihat dari atas (google maps) bukit tersebut seperti
tepat berada di tengah lokasi pantai. Di atas bukit itulah lokasi goa cina
berada. Bukit ini sebenarnya adalah sebuah pulau yang letaknya sangat dekat
dengan daratan.
Meski
matahari sedang berada dipuncaknya. Suasana teduh nan nyaman menjadi kesan
pertama kami. Itu karena adanya pohon – pohon besar yang menaungi area pantai.
Di bawah pohon tersebut pengunjung memanfaatkannya untuk bersantai dengan
menggelar tikar. Ada juga yang mendirikan tenda. Seseorang menawarkan harga
sewa tenda Rp. 150.000,- per malam pada kami. Harganya mungkin lebih murah jika
tidak bertepatan dengan libur akhir tahun.
Mengeksplorasi Bagian Barat
Kami kembali
berjalan menuju sisi barat. Hamparan pasir putih memanjang sukses membius penglihatan
kami. Seketika lelah karena perjalanan sirna begitu saja. Bagian pasir putihnya
yang luas seakan cukup untuk menampung ledakan pengunjung kala itu.
Air lautnya
bening, dengan warna hijau toska menawan. Namun jika siang datang, kondisinya berubah.
Air menjadi pasang, lebih tinggi dari kondisi waktu pagi. Seperti ciri khas
pantai selatan lainnya, ombak disini sangat besar. Papan pengumuman dilarang
berenang ditempel di beberapa sudut. Meskipun begitu banyak yang nekat melanggar.
Tidak henti
- hentinya saya berdecak kagum. Pantai ini seperti indah dilihat dari sisi
manapun. Sayangnya siang itu langit berubah gelap. Hujan turun dan memaksa kami
berteduh di gubuk beratap daun itu.
Sisi bagian barat Pantai Goa Cina kala siang hari saat mendung |
Pemandangan salah satu bukit di Pinggir Pantai ( Bagian Barat Pantai Goa Cina ) |
Meskipun hujan, hasrat untuk menikmati pantai tetap membara |
Foto diambil dari ujung barat pantai Goa Cina |
Tebing di sisi paling barat pantai Goa Cina berbatasan langsung dengan pantai Watu Leter |
Tidak hanya
warung, disini juga tersedia fasilitas yang lengkap. Seperti toilet umum, camping ground, dan tentunya mushola
(tempat ibadah).
Pukul 2
siang hujan berhenti. Meskipun masih sedikit mendung, tapi tidak menyurutkan
semangat kami. Eksplorasi kembali berlanjut. Disekitar pantai kami menemui aneka
hewan laut. Sementar melongok keatas terlihat bukit karang hijau dengan gubuk
dibawahnya cukup menarik untuk difoto. Kabarnya karena keindahannya inilah,
lokasi ini sering digunakan sebagai spot foto pernikahan.
Blusukan di Atas Bukit
Kami
menyusuri setiap jengkal pasir putihnya yang panjang itu. Di ujung barat ini
kami mendapati sebuah jalan setapak menuju bukit. Dari depan tampak bagus, dengan pavingnya menembus
rerimbunan pohon. Rasa penasaran kami samakin memuncak. Satu persatu anak
tangga kami lewati. Sayangnya fasilitas jalan berpaving belum selesai sampai
diatas. Masih ada separo lebih yang berupa tanah.
|
Karena nekat
salah satu dari kami terpeleset hingga dua kali. Beruntung tidak terjadi
masalah serius. Hanya saja celana bagian atas dipenuhi tanah lumpur. Untuk
melanjutkan saya melepas alas kaki. Kemudian aktif mencari pegangan batang
pohon untuk samapai keatas. Tentu jika tidak hujan tidak akan sesulit ini.
Belum sampai
di puncak saya menengok kearah timur. Sungguh tidak sia - sia perjalanan ini.
Sisi lain pantai goa cina kami dapati dari ketinggian. Dari celah dedaunan pemandangan
pantai seakan bertambah indah berkali - kali lipat. Dari atas bukit ini pula
kami tahu, bahwa kami berdiri diatas perbatasan antara pantai goa cina dan
pantai watu leter. Pantai watu leter pun juga terlihat mengagumkan dari atas
sini.
Menjelajahi Sisi sebelah Timur
Selepas naik
bukit kami segera turun. Kemudian napak tilas dengan jejak kami sebelumnya.
Sisi sebelah timur belum kami jamah. Sementara waktu berlalu begitu cepatnya.
Mengambil
posisi start dari bukit goa cina, kami menelusuri setiap jengkal sisi timur
ini.
Panoramanya berbeda dengan sisi sebelah barat. Bebatuan eksotis lebih
mendominasi mata pandang. Batu - batu karang tersebut menjadi pembatas antara
daratan dan lautan. Sebagian besar berwarna coklat dan hijau lumut. Ukurannya
bervariasi, bentuknya pun unik. Terdapat juga lubang - lubang di bebatuan
karang yang dimanfaatkan anak - anak untuk bermain.
Memandangi pulau karang bersama pasangan |
Seorang anak bermain - main dengan bebatuan karang |
Fokus pada ombak yang lebih mirip Tsunami |
Menariknya
di depan pantai kita bisa menyaksikan panorama pulau - pulau karang. Ya ada
beberapa pulau dan batu karang besar yang letaknya cukup dekat dengan pantai.
Yang terbesar adalah Pulau Goa Cina, Pulau Bantengan dan Pulau Nyonya. Semuanya
di tumbuhi pepohonan hijau yang lebat.
Suara
gemuruh ombak terdengar hampir setiap waktu. Itu kareana pengaruh arus
gelombang yang bertemu dari arah timur, barat, dan selatan. Arus gelombang
tersebut saling menghantam diantara Pulau Bantengan dan Pulau Nyonya. Semakin
sore suara gelombang yang dihasilkan semakin keras. Maka tidak heran jika tidak
ada prahu nelayan bersliweran di area tersebut.
Jika sahabat
punya waktu luang, sangat disarankan untuk bisa menginap. Kabarnya, meskipun
berada di selatan, dari Pantai Goa Cina kita dapat melihat keindahan matahari
terbit. Bermalam diatas pasir dengan suara gemuruh ombak akan menjadi
pengalaman menarik. Satu lagi, jika hari masih pagi air biasanya surut. Jadi
bisa menyebrang ke pulau - pulau terdekat. Kemudian menikmati jernihnya air
bersama awan biru cerah.
Karena hari
semakin sore, kami pun kembali keatas. Duduk sejenak diatas bangunan semen yang
memanjang di tepian pantai. Sambil mengamati luasnya bagian timur pantai. Dari
jauh terlihat dominasi batuan karang sedikit berkurang. Ya hari ini kami belum
selesai menyentuh ujung paling timur pantai goa cina. Lain waktu kami pasti
kembali, dengan persiapan yang lebih matang.
Ada satu hal
yang membuat kami tidak nyaman. Masih saja kami dapati sampah dan sisa makanan
yang mengganggu dibeberapa titik. Secuil harapan dari kami untuk ciptaan indah
Tuhan yang satu ini. Semoga lebih banyak lagi orang yang sadar akan kebersihan.
Tidak hanya datang untuk bersenang - senang, tapi bertanggung jawab dengan
menjaga kelestarian alam. Terakir, kami mengajak siapa saja untuk membuang
sampah pada tempatnya. Dimanapun dan kapanpun.