Geliat Seni Tradisi Jaranan di Desa Pucung Kidul
Kali ini ijinkan kami mengajak sahabat untuk berkunjung ke desa Pucung Kidul, Kecamatan Boyolangu. Melihat lebih dekat salah satu seni tradisi khas Tulungagungan. Jaranan begitulah orang – orang menyebut seni tradisi ini. Kesenian yang masih digemari sebagian besar orang Tulungagung, penikmatnya pun merata hingga lintas generasi. Kali ini ijinkan kami mengajak sahabat untuk berkunjung ke desa Pucung Kidul, Kecamatan Boyolangu. Melihat lebih dekat salah satu seni tradisi khas Tulungagungan. Jaranan begitulah orang – orang menyebut seni tradisi ini. Kesenian yang masih digemari sebagian besar orang Tulungagung, penikmatnya pun merata hingga lintas generasi.
![]() |
Kegiatan Seni Tradisi Jaranan di Tulungagung |
Setiap daerah di Nusantara pasti memiliki produk seni tradisi yang khas. Seni tradisi lahir sebagai bentuk kreatifitas masyarakat atas budayanya. Tentu bukan hanya sekedar hiburan, didalamnya juga diselipkan nilai – nilai filosofis yang sarat akan makna. Bentuknya bisa berupa tembang (lagu), musik, tari, drama, atau gabungan dari unsur - unsur tersebut. Yang pasti ciri seni dengan keindahannya yang universal sangat mudah diterima semua kalangan
Di Tulungagung (Jawa Timur) banyak dijumpai ragam seni
tradisi yang saat ini masih teguh dipertahankan. Seni tradisi bernafas budaya
jawa seperti Karawitan, Tayupan, Jemblungan, Wayang Kulit, Jedor, Tiban,
Ketoprak / Ludruk, Reog Kendang, Kentrung, dan Jaranan adalah aset berharga
yang mewarnai kehidupan di kampung halaman tercinta.
Saya yakin kesenian –
kesenian tersebut juga bisa dinikmati di daerah lain, khususnya di pulau Jawa. Namun
yang khas Tulungagung seperti Reog Kendang, Kentrung, dan Jaranan cukup sulit
ditemukan di tempat lain. Kecuali ditanggap (diundang) oleh seponsor khusus
seperti instansi atau donatur independent pecinta seni.
Kali ini ijinkan kami mengajak sahabat untuk berkunjung ke
desa Pucung Kidul, Kecamatan Boyolangu. Melihat lebih dekat salah satu seni
tradisi khas Tulungagungan. Jaranan begitulah orang – orang menyebut seni
tradisi ini. Kesenian yang masih digemari sebagian besar orang Tulungagung,
penikmatnya pun merata hingga lintas generasi.
Seni tradisi ini banyak di
temukan di daerah Jawa Timur khususnya bagian selatan. Namun perkembangannya
tidak sepesat dan sesemarak di Tulungagung. Setiap Kecamatan atau bahkan hampir
setiap desa – desa di Tulungagung punya grup jaranan. Dari sini lahir para
seniman kondang yang sukses.
Proses regenerasi juga tidak ketinggalan. Anak -
anak muda ikut antusias mempelajari seni tradisi daerahnya itu. Berbagai
inovasi terus ditambahkan. Hasilnya lahirlah grup – grup jaranan legendaris
yang dikenal banyak orang. Lihat saja grup jaranan Kuda Birawa atau Safitri
Putra yang mendunia dengan seni jaranan dangdut kreasinya.
Kata “Jaranan” sendiri berasal dari bahasa Jawa. Jaran
artinya kuda istilah jaranan bisa bermakna kuda mainan atau bermain kuda.
Sebagian orang mungkin lebih mengenalnya dengan istilah kuda lumping atau Jaran
Kepang. Jaranan ini sebenarnya tidak hanya sekedar tarian. Dalam jaranan bisa
kita nikmati alunan musik dari para pemain gamelan, bahkan sekarang
dikolaborasikan dengan peralatan musik moderen. Ada juga aksi ndadi atau kesurupan yang justru ditunggu – tunggu penonton.
Kenal lebih dekat
dengan Jaranan
Malam itu (11/07/17) saya menerima ajakan dari Pak Ali (32) salah
seorang teman yang juga pecinta seni tradisi. Rencananya kami akan menonton
langsung pertunjukan jaranan. Ini adalah pertunjukan kali pertama setelah lama
libur lebaran. Jadwal pertunjukan kami dapatkan dari grup sosial media. Tentu
kami sudah hafal betul tempatnya. Sayangnya untuk jadwal kali ini lokasinya
cukup jauh. Harus melewati dua Kecamatan dulu untuk sampai di desa Pucul Kidul.
Riuhnya kerumunan warga menjadi penanda bahwa kami telah
sampai. Dibawah purnama kami ikut berbaur mendekati panggung terbuka. Panggung
dimana seni tradisi jaranan dipentaskan disitu. Ukurannya tidak terlalu besar,
tapi cukup untuk menampung kehebohan para seniman jaranan. Sementara di bagian
belakang panggung dibuatkan dekorasi dengan tema berbentuk bagunan candi.
Dari
situ pula saya tahu, grup jaranan yang sedang tampil ini adalah Turonggo Siswo Budoyo. Grup jaranan
kebanggan warga Desa Pucung Kidul. Kali ini mereka tampil dirumahnya sendiri.
Dalam rangka syukuran salah seorang sesepuh desa.
![]() |
Susasana panggung terbuka, pementasan seni tradisi jaranan di Desa Pucung Kidul |
Wangi aroma kembang dan kemenyan menjadi santapan wajib
untuk kami hirup. Menambah kesan mistis yang selama ini kerap dikaitkan dengan
pementasan jaranan. Sayangnya perhatian saya lebih tertarik pada lantunan musik
pengiring jaranan. Terkesan bersemangat dan asik untuk ikut manggut manggut. Sumber
suara itu ternyata berasal dari pemain gamelan disamping panggung.
Tentu saja
tidak hanya gamelan, ada juga peralatan sekelas band yang juga turut
memeriahkan. Belum lagi dukungan dari soundsystem yang dipasang didepan
panggung. Saya yakin tidak hanya pemain jaranannya yang bersemangat untuk
jingkrak – jingkrak. Penonton pun pasti ikut hanyut layaknya menonton konser
band – band ibu kota.
Ketika kami datang, acara sudah berlangsung di atas
panggung. Tampak beberapa anak kecil menunjukan kebolehannya. Generasi baru
pewaris jaranan ini tampil percaya diri sebagaimana orang dewasa. Pakem - pakem
gerakan jaranan sentherewe mereka suguhkan dengan lincah dan gesit. Jaran dari
anyaman bambu mereka tunggangi. Peran pasukan bekuda khas kerajaan ditampilkan
dengan gagah perkasa. Tak lupa cemeti (Cambuk) digenggamnya dengan erat
sesekali terdengar suara cambukan “ceples, ceples, ceples ….. “
![]() |
Pementasan koreo jaranan yang dilakukan sekelompok peanri muda |
Ini masih pukul sembilan malam, untuk jaranan biasanya
berdurasi lebih dari empat jam. Mereka menjadi tim pembuka yang menggebrak
panggung terbuka malam itu. Selanjutnya masih ada beberapa penampilan lagi.
Tentu saja dengan formasi dan pemain yang berbeda. Di ronde kedua ini pemainnya
usia remaja. Mereka terlihat lebih matang dari grup sebelumnya. Formasi
pemainnya sagat bervariasai. Salah satu yang saya ingat adalah saat penapilan
campuran, kolaborasi dua remaja perempuan dan dua remaja laki - laki.
Dalam pertunjukan seni jaranan Tulungagungan ada semacam alur
cerita yang khas. Mulai dari gerakan berkelompok yang menggambarkan kekompakan pasukan
kerajaan. Kemudian gerakan solo ala
kesatria berkuda. Dilanjutkan dengan kisah pasukan berkuda melawan celeng. Gerakan
pemain celeng sangat tidak beraturan. Bertingkah gesit dan rakus persis seperti
babi hutan. Pada puncaknya kita akan disuguhkan pertarungan kesatria berkuda
dengan barongan.
Aksi Barongan dan “Ndadi”
Barongan adalah sosok berkarakter menakutkan dan berkuasa.
Diwujudkan dalam bentuk naga versi mitologi Jawa. Sosok naga juga lekat dengan
kisah legenda yang ada di Tulungagung, Seperti naga baruklinthing yang mashur
itu.
Properti untuk barongan seperti topeng pada reog Ponorogo. Namun dengan
ukiran kepala naga yang lebih seram. Hidungnya besar dan matanya melotot
keluar. Yang unik bagian mulut topeng barongan ini bisa digerakan. Sehingga
keluar bunyi keras “dok, dok, dok … “ karena hal ini ada juga yang menyebutnya
sebagai dokdokan.
Untuk memainkan barongan hanya butuh satu orang. Penari
barongan haruslah memiliki tenaga yang kuat, sebab ukuran topeng barongan ini
cukup berat. Belum lagi sang penari harus menggerakan mulut barong dengan
lincah. Pertarungan barongan dengan kesatria berkuda memang selalu mendebarkan.
Tingkah polah barongan lebih brutal dari celengan. Sesekali terjadi aksi
akrobatik seperti salto atau melompat tinggi. Tak jarang pula terjadi kontak
fisik layaknya adegan di film laga.
okoc
![]() |
Aksi barongan yang merupakan sessi paling di tunggu dipementasan Jaranan |
Malam semakin larut kami pun semakin hanyut dalam pentas rakyat
itu. Tepat pukul duabelas malam hal yang paling ditunggu pun kami dapati.
Apalagi kalau bukan ndadi alias
kesurupan. Ini memang terlihat aneh, namun selalu menarik perhatian. Pertunjukan
jaranan tanpa adegan ndadi seperti
sayur tanpa garam. Kurang lengkap atau bahkan kurang greget.
Ndadi adalah kondisi dimana pemain jaranan
kerasukan makhluk halus (ghaib). Kerasukan menjadi hal yang wajar, bahkan
umumnya para makhluk halus ini memang sengaja diundang. Kerjasama ini semata - mata hanya untuk
memeriahkan jalannya pertunjukan.
Satu persatu pemain jaranan kesurupan gerakannya jadi lebih agresif
dan tak umumnya manusia. Dulu kalau seorang ndadi bisa aneh – aneh permintaanya.
Seperti makan beling (pecahan kaca), mengupas sabut kelapa dengan gigi, atau
makan bara api yang panas. Untungnya kami tidak mendapati kejadian se-ekstrim itu.
Hanya saja jantung ini ikut berdebar saat salah seorang yang ndadi dengan mata
melotot berlari mendekati penonton. Perang antara pasukan berkuda dan barongan
menjadi lebih hidup berkat kesurupan ini. Barongan yang ganas benar - benar nyata
malam itu. Pemainnya seperti hilang kendali. Suara dari mulut barongan semakin
cepat dan keras. Disisi lain sang penantang pasukan berkuda juga ikut
kesurupan. Seperti tidak ada ketakutan di raut wajahnya. Melawan barongan
dengan gagah dan penuh keberanian.
Pertunjukan seni tradisi rakyat ini ditutup dengan
kemenangan pasukan berkuda. Namun belum cukup sampai disitu, prosesi untuk
menyadarkan para pemain yang ndadi tidak semudah yang dibayangkan. Untuk
menyadarkannya butuh bantuan juru gambuh (pawang) selaku pemimpin tertinggi di pertunjukan
tersebut.
Untuk yang tingakat bias acara menyadarkannya pun cukup ditepuk
bahunya atau disuruh makan kembang. Semakin tinggi level ndadinya maka semakin
sulit untuk disadarkan. Kalau sudah begini sang juru gambuh akan menerapkan
jurus andalannya seperti menidurkan pemain atau mencambuknya dengan mantra
tertentu. Yang pasti malam itu pertunjukan berjalan dengan lancar.
Di akhir
pertunjukan sang juru gambuh memanjatkan slametan atau doa atas suksesnya
pertunjukan tersebut. Penonton pulang dengan membawa cerita mengesankan kerumah
mereka masing - masing. Begitulah secuil cerita kearifan lokal yang terjadi di
desa Pucung Kidul malam itu. Secuil cerita yang mengabarkan bahwa seni tradisi
lokal masih hidup dan tetap dinikmati sebagian besar rakyat Nusantara.