Menghias Jalan Desa Menjelang Hari Raya
Seminggu menjelang berakirnya Ramadhan suasana desa tampak lebih meriah. Hari Raya yang kehadirannya tinggal menghitung hari akan mengakhiri puncak Ramadhan. Kesibukan akan bertambah, berbagai persiapan pun mulai dikerjakan. Ada salah satu tradisi yang khas menjelang lebaran. Jalan - jalan yang menjadi penghubung antar desa tampil beda dari biasanya. Lebih meriah, semarak dan semakin berwarna. Tidak hanya jalan utama jalan - jalan di gang - gang kecil pun tidak luput dari kemeriahan. Warga akan berlomba - lomba menghias jalan semenarik mungkin. Sentuhan kreatifitas dan kekompakan dari anak - anak mudanya memiliki peran yang cukup penting pada proyek tahunan ini.
Hampir genap satu bulan orang - orang Islam melaksanakan
puasa. Hari - hari yang disucikan itu memasuki minggu terakhirnya. Setiap ada
perjumpaan pasti ada perpisahan, begitu pula perjumpaan dengan Ramadhan. Suka
cita bulan puasa pun merasuki seluruh kehidupan Masyarakat Nusantara. Negeri
zamrud katulistiwa dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Berbagai tradisi
tahunan dihadirkan kembali dengan penuh antusias baik di perkotaan hingga di gang
– gang kecil pedesaan. Mudik, ngabuburit, buka bersama, nyumet mercon (bermain
petasan), tadarus di langgar, ngaji pasan (pesantren kilat) dan kegiatan rondo
(membangunkan orang sahur) menjadi warna tersendiri yang hanya ada di bulan
suci ini.
Tahun ini saya lebih beruntung, bisa menikmati sepanjang
momen puasa di kampung halaman. Desa tercinta yang tidak pernah kalah meriahnya
dengan perkotaan ketika Ramadhan. Banyak orang - orang desa yang tinggal di
kota - kota besar, mulai dari mencari nafkah, kuliah bahkan ada yang sudah
menetap dan beranak pinak disana. Tidak sedikit pula yang sukses karena
keuletan dan kesungguhanya. Namun sejauh apapun kita merantau, rumah adalah
tempat yang paling dirindukan untuk kembali. Maka tidak heran jika arus mudik
meningkat berkalilipat menjelang lebaran. Ramadhan di kampung halaman adalah
idaman bagi perantau yang lama tak pulang. Entah sukses atau belum, pulang
adalah obat mujarab untuk mengobati kerinduan. Suasana rumah dan kegiatan
masyarakat desa yang senang berpesta menjadi hal yang paling ditunggu. Momen
seperti itulah yang menjadi mesin nostalgia bagi siapapun yang merasakannya. Momen
yang tidak pernah ada habisnya untuk diceritakan, momen yang selalu memaksa
saya untuk selalu menuliskannya.
Seminggu menjelang berakirnya Ramadhan suasana desa tampak
lebih meriah. Hari Raya yang kehadirannya tinggal menghitung hari akan
mengakhiri puncak Ramadhan. Kesibukan akan bertambah, berbagai persiapan pun
mulai dikerjakan. Ada salah satu tradisi yang khas menjelang lebaran. Jalan -
jalan yang menjadi penghubung antar desa tampil beda dari biasanya. Lebih
meriah, semarak dan semakin berwarna. Tidak
hanya jalan utama jalan - jalan di gang - gang kecil pun tidak luput dari
kemeriahan. Warga akan berlomba - lomba menghias jalan semenarik mungkin. Sentuhan
kreatifitas dan kekompakan dari anak - anak mudanya memiliki peran yang cukup
penting pada proyek tahunan ini. Siang malam secara bergantian dari yang tua
hingga yang muda bahu membahu aktif bekerja sama. Dananya diambil dari
sumbangan sukarela para warga sendiri. Susunan panitanya berjalan otomatis
tanpa peraturan yang mengikat. Ada yang bertugas mencari dana, tim desain yang
super kreatif, pelaksana lapangan, penyemangat, komentator dan tak ketinggalan
tim konsumsi yang setia menemani. Semua atas dasar kesadaran masing - masing. Kekompakan
semacam ini mungkin yang sulit dijumpai di perkotaan.
Kalau sahabat ingin merasakan pengalaman lebaran yang
berbeda berkunjunglah ke desa kami. Sebelum hari raya datang, riuhnya pesta ala
rakyat pedesaan sudah bisa sahabat rasakan. Utamanya di desa Kamulan,
Sumbergayam, Pakis, Semarum, Ngadisuko dan desa - desa lain yang berada di
Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek. Kemeriahan juga bisa ditemui di Desa
Bulus, Ngepeh, Gandong, Kesambi, Sebalor, Ngunggahan yang berada di Wilayah
Kecamatan Bandung, Kabupaten Tulungagung. Kecamatan Durenan dan Bandung adalah
dua kecamatan perbatasan Kabupaten yang dikenal selalu meriah setiap perayaan
hari besar agama maupun nasional. Saya meyakini kalau kemeriahan semacam ini
sejatinya juga merata hampir diseluruh wilayah Nusantara, khususnya Jawa.
Gambaran kemeriahannya adalah seperti pesta - pesta rakyat
yang penuh kreatifitas. Di siang hari sahabat akan menjumpai umbul - umbul yang
pasti ada di setiap rumah. Umbul - umbul adalah sebutan untuk kain panjang yang
menyerupai bendera. Memasang umbul - umbul ini sudah menjadi hal wajib meskipun
tanpa perintah. Hiasan yang khas tentu warna - warni kain yang memiliki desain
berbeda di setiap desa. Ada yang di pasang di sisi kanan dan kiri jalan, ada
yang di pasang melingkar ke atas badan jalan. Ada pula yang memasang lampion
dengan pernak perniknya. Satu lagi untuk kemeriahan malam hari, pemasangan
lampu hias sudah menjadi tradisi baru untuk melengkapi kemeriahan hari raya.
Lampu warna - warni dipasang di setiap rumah, dipasang dengan tiang pancang
dari bambu yang melengkung kejalan. Malam hari di jalan - jalan desa akan
bertabur cahaya lampu hias yang berwarna - warni. Berjalan di sana seperti
memasuki lorong goa yang dipenuhi cahaya. Tidak cukup sampai disitu, biasanya
di tempat – tempat penting seperti Langgar / Masjid dibuatkan gapura dadakan
yang bertabur hiasan lengkap dengan lampu yang memanjakan mata.
Tradisi menghias jalan menjelang hari raya ini sudah turun -
temurun dilakukan. Setiap tahunnya selalu ada inovasi mengenai ide desain yang
labih menarik. Mereka ingin membuat sesuatu yang lebih sepesial dan bermakna
untuk Idul Fitri yang hanya akan datang setahun sekali. Kegiatan semacam ini
sekaligus untuk menyambut tamu atau keluarga yang datang dari perantauan. Gotongroyong
dan kekompakan warga lah kunci sukses proyek tahunan ini. Banyak makna yang
terselip, tidak hanya sekedar berpesta menghias jalan adalah wujud syukur dan
suka cita warga desa dalam menyambut datangnya hari raya.