Menelisik Sejarah Prasasti Cunggrang
Prasasti Cunggrang diresmikan pada 18 September 929 Masehi (851 Saka). Sebuah prasasti peninggalan tokoh legendaris Empu Sindok, yang berada di sebelah timur kaki gunung suci Pawitra (Penanggungan). Tepatnya di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.
prasasti, cunggrang, pasuruan, sejarah,
Prasasti Cunggrang di Pasuruhan |
Bertolak dari Candi Jawi rombongan kami kembali melanjutkan
perjalanan. Ada empat destinasi lagi yang harus dikunjungi. Semua masih dalam
satu rangkaian bertajuk “Jelajah Patirthan” dalam rangka memperingati hari air.
Saya bersama Mas Alfian (Ketua Blogger Ngalam) dan Mas Tomi ikut membaur
bersama peserta lain di dalam bus.
Sementara Bus melaju dengan santainya,
mengikuti irama lalu lintas yang cukup ramai siang itu. Tujuan selanjutnya adalah menelisik prasasti
Cunggrang. Prasasti peninggalan tokoh legendaris Empu Sindok, yang berada di
sebelah timur kaki gunung suci Pawitra (Penanggungan). Tepatnya di Dusun Sukci,
Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan.
Kami sampai di Dusun Sukci pada siang hari (19/03/2017). Bus
yang kami tumpangi berhenti di sebuah lapangan yang cukup luas. Seterusnya kami
harus berjalan kaki untuk menuju lokasi. Mungkin kalau menggunakan mobil atau
motor bisa langsung sampai.
Kali ini saya pun harus menikmati berjalan kaki,
meresepai suasana desa kuno ini lebih kusyuk lagi. Beramai - ramai kami diajak
menyusuri perkampungan. Melewati jalan dan gang - gang kecil di antra rumah -
rumah warga. Beberapa menit kemudian kami sampai di lokasi. Saya merasa cukup
sulit untuk menemukannya, ini karena lokasi benda bersejarah tersebut membaur
di tengah pemukiman warga.
Bahkan lebih menjorok kedalam jika diukur dari badan
jalan. Seolah - olah memang berada di belakang rumah warga. Bangunan sederhana
berbentuk pendopo menjadi pelindung prasasti Cunggrang dari gempuran cuaca. Di
depanya terdapat halaman kecil yang sekaligus menjadi halaman bangunan posyandu
di sampingnya.
Gang masuk menuju Prasasti Cunggrang |
Pendopo yang menaungi keberadaan Prasasti Cunggrang (Tahun 2017) |
Semua peserta bergegas memenuhi ruangan pendopo yang
dibatasi pagar besi setinggi satu meter itu. Duduk melingkar dan mengelilingi
prasasti. Karena jumlahnya yang banyak sebagian tetap antusias berdiri di luar
pagar. Di dekat prasasti sudah bersiap Pak Dwi Cahyono (Dosen dan Peneliti
Sejarah) menjelaskan banyak hal tentang prasasti ini.
Prasasti Cunggrang diresmikan pada 18 September 929 Masehi
(851 Saka). Angka tersebut sekarang juga digunakan sebagai acuan hari jadi
Kabupaten Pasuruan. Pendirian prasasti ini diprakarsai oleh Sri Maharaja Rakai
Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa yang lebih dikenal dengan Mpu Sindok. Ia
adalah raja pertama dari kerajaan Medang (Mataram periode Jawa Timur). Beberapa
peneliti sejarah mengungkapkan bahwa Empu Sindok merupakan menantu dari Raja
Wawa penguasa kerajaan Medang sebelumnya pada periode Jawa Tengah.
Pada masa Empu Sindok ini sudah diterapkan sistem
pengarsipan. Hal ini juga didapati pada prasasti Cunggrang. Sistem pengarsipan
tersebut meliputi penulisan pada daun lontar, proses selanjutnya memahatkan deretan
huruf sangsekerta itu pada permukaan batu adesit yang sekarang disebut sebagai
Prasasti Cunggarang A. Berlanjut pembuatan salinan pada lempeng tembaga yang
disebut sebagai prasasti Cunggrang B. Prasasti Cunggrang versi lempeng tembaga ditemukan
di lereng gunung Kawi, dan sekarang keberadaanya tersimpan di kompleks Gereja
Kayu Tangan.
Jika kita mengamati prasasti Cunggrang lebih seksama, maka
terdapat tiga batu disamping kiri dan kanannya. Yang pertama terdapat batu
berbentuk silindris yang sengaja ditanam disamping batu utama prasasti, dikenal
dengan sebutan batu sima. Merupakan penanda bahwa wilayah disekitarnya
merupakan tanah sima (perdikan).
Salah satu isi dari prasasti Cunggrang ini juga
menetapkan Desa Cunggrang sebagai tanah sima atau perdikan. Merubah setatusnya
dari desa biasa menjadi desa istimewa yang bebas pajak. Selanjutnya terdapat
dua batu lumpang (berlubang) disebelah sisinya. Batu lumpang ini digunakan
untuk memecahkan endok (telur).
Pecah telur mengandung makna bahwa setiap
keputusan yang sudah ditetapkan tidak bisa dirubah. Begitupun dengan keputusan
raja yang dikenal dengan “Sabda Panditha Ratu” berkaitan dengan penetapan desa
perdikan tersebut.
Tugas penduduk yang daerahnya dijadikan perdikan ialah
memerlihara tempat pertapaan dan memperbaiki bangunan pancuran di Pawitra. Jika
dilihat dari keberadaan prasasti yang sulit untuk dipindahkan, maka bisa
dipastikan Desa Cunggrang memang berada di Desa Sukci.
Hal ini semakin
diperkuat dengan penemuan sejumlah benda - benda bersejarah. Sementara pancuran
air yang dimaksud adalah tempat yang sekarang dikenal dengan Candi Belahan
(Sumber Tetek). Lokasinya persis di gunung Pawitra (Penanggungan), hanya
berjarak kurang dari lima kilometer . Jadi kesimpulanya prasasti Cunggrang ini
semacam referensi atau sumber hukum tertulis untuk merawat pancuran air di
Candi Belahan.
Detail tulisan Prasasti Cunggrang |
Banyak yang bisa dipanen dari kunjungan bersejarah ini.
Bahwa tradisi literasi dan pengarsipan pun sudah dimulai berabad - abad
lamanya. Suatu upaya untuk mengabadikan peristiwa dan mengabarkanya kepada
lintas generasi.
Sudah ada sumber hukum
tertulis, sudah tergambar dengan jelas bagaimana harmonisnya hubungan penguasa
dengan rakyatnya. Imbal balik yang saling menguntungkan dengan segala bentuk
apresiasi lainya. Perhatian penguasa terhadap tempat pertapaan dan patirtan
menjadi catatan bahawa peradaban leluhur Nusantara sangat memperhatikan
kebutuhan rakyatnya dari segi jasmani dan rohani.
Hanya sedikit harapan pada
pemrintah untuk lebih memperhatikan lagi benda bersejarah semacam ini.
Sementara pesan untuk pengunjung adalah
ajakan untuk bersama - sama menjaga prasasti Cunggrang ini. Minimal tidak
menyentuhnya, terlebih lagi sengaja merusak. Ini bukan lagi sekedar warisan,
lebih dari itu saya menganggapnya sebagai pusaka.
Ikuti perjalanan kami selanjutnya di Candi Belahan (Sumber
Tetek)