Jelajah Budaya di Candi Jawi
Berdirinya Candi Jawi berawal dari perintah Raja Kertanegara, Raja terakhir kerajaan Singosari. Peninggalan Kerjaan Singosari ini berdiri kokoh di seberang jalan Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur). Tentang candi Jawi, banyak informasi penting yang dapat kita pelajari. Candi tidak hanya dibuat sebagai tempat peribadahan saja akan tetapi juga dirancang sebagai sarana teknologi irigasi.
wisata pasuruan, candi jawi, wisata budaya, wisata sejarah, kerajaan singosari, candi parit, candi majapahit
Candi Jawi tampak dari pintu masuk |
Candi adalah sebutan untuk sebuah bangunan purbakala yang memiliki nilai sejarah. Hampir semua kerajaan di Nusantara khususnya Jawa membangun sebuah candi. Selain digunakan sebagai tempat peribadatan, candi juga menyimpan informasi peradaban bahkan memiliki fungsi teknologi.
Banyak candi yang tersebar di tanah Jawa, Baik yang sudah ditemukan maupun yang masih tertimbun di dasar tanah. Namun karena rentang waktu yang panjang sebagian candi ditemukan dengan kondisi yang butuh perbaikan. Hanya beberapa saja yang ditemukan masih utuh.
Salah satu contoh Candi yang masih dapat kita saksikan hingga saat ini adalah Candi Jawi. Peninggalan masa Kerjaan Singosari ini berdiri kokoh di seberang jalan Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur). Tentang candi Jawi, banyak informasi penting yang dapat kita pelajari. Salah satunya adalah tentang teknologi pengairan yang bisa dibilang canggih pada masanya.
Dalam rangka memperingati hari air, sejumlah komunitas peneliti dan pecinta sejarah di Malang mengadakan acara bertajuk “Jelajah Patirthan”. Kegiatanya adalah mengunjungi beberapa situs bersejarah yang berkaitan dengan air. Dua hari sebelum kegiatan berlangsung saya sudah antusias mendaftarkan diri pada acara jelajah budaya ini. Hari Minggu Pagi tanggal (19/3/2017) perjalanan di mulai dari depan stasiun kota baru Malang.
Dua bus berukuran besar menampung sejumlah peserta dari berbagai latar belakang. Mulai dari peneliti, akademisi, fotografer, awak media dan masyarakat umum pecinta sejarah, semua berbaur menjadi satu. Dalam satu hari lima situs bersejarah akan kami tuntaskan. Sejumlah seniman dan penari juga ikut ambil bagian dengan aksi teatrikalnya. Perjalanan kali ini seperti refleksi sejarah yang lengkap.
Pukul sembilan pagi bus sudah sampai di kaki gunung Welirang, lokasi dimana Candi Jawi berada. Suasananya lebih ramai, mungkin karena faktor hari libur dan jumlah peserta jelajah yang memang cukup banyak. Saya langsung bergegas memasuki halamannya yang luas. Menembus suasana pagi di tempat yang dianggap sakral oleh leluhur bangsa Jawa.
Letak candi Jawi persis di seberang jalan besar, diapit pemukiman - pemukiman padat penduduk. Sekilas memang mirip sebuah taman. Tertata rapi dengan kombinasi rumput hijau dan desain arsitekturnya yang megah. Ada parit / kolam air yang mengelilingi bangunan utama. Lebih tepatnya candi berada pada bagian tengah kolam air dengan posisi tanah yang lebih tinggi. Sahabat bisa membayangkannya seperti danau Toba dengan daratan di tengahnya.
Bentuk kolamnya persegi dan simetris, di dalamnya terdapat kumpulan tumbuhan teratai. Banyak ikan hias yang bersembunyi di balik teratai yang juga turut menghibur pengunjung. Kalau berkenan kita boleh memberi makan ikan - ikan tersebut dengan pakan yang dijual di dekat pintu masuk. Pintu masuknya berada di sebelah timur. Dulu pintu masuk sebelah timur ini hanya untuk kalangan tertentu (Raja dan Keluarganya). Pintu gerbang sebelah baratlah yang seharusnya untuk umum.
Namun sekarang hal itu sudah tidak berlaku, hanya pintu disebelah timur yang dijadikan pintu masuk umum. Setelah melewati kolam, saya harus naik beberpa anak tangga untuk sampai di pelataran utama. Sementara para peserta lain sudah siap mengambil posisi untuk mendengarkan penjelasan dari Bapak M. Dwi Cahyono, seorang peneliti sejarah yang menjadi pemandu pada kegiatan jelajah patirthan ini. Kami seperti diajak kuliah di alam terbuka, mempelajari bangunan bersejarah dan peradaban budaya langsung dari sumbernya.
Sejarah Singkat Candi Jawi
Berdirinya Candi Jawi berawal dari perintah Raja Kertanegara, Raja terakhir kerajaan Singosari. Kitab Negarakertagama pupuh 56 mengungkapkan bahwa bangunan tersebut juga dibangun sendiri oleh Raja Kertanegara.
Sedangkan untuk penamaan candi berasal dari kata “jajawa” (syair 55 bait 3) dan kata “JawaJawa” (syair 73 bait 3) yang semuanya termuat pada kitab Negarakertagama. Sedangkan kata “Jawi” merupakan bahasa krama dari kata “Jawa”, yang memiliki makna lebih halus. Pelafalan “Jawi” mungkin tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat Jawa pada umumnya, untuk menghormati sesuatu yang dianggap sakral dengan tingkatan bahasa krama. Tahun awal pembuatanya diperkirakan pada akhir pemerintahan kerajaan Singosari yaitu abad ke-13. Mengenai fungsi dari candi jawi ada perbedaan pendapat dikalangan para ahli.
Sebagian menyatakan candi ini dibuat sebagai tempat peribadahan, Karena dibangun pada saat raja Kertanegara masih hidup. Pendapat lainya menganggab candi ini bukan sebagai tempat ibadah, dengan alasan arsitektur candi yang membelakangi gunung pawitra (penanggungan) meskipun masih dalam satu garis lurus.
Raja Kertanegara menganut ajaran singkretisme Siwa-Budha. Singkretisme adalah suatu proses perpaduan tentang kepercayaan atau agama. Faham singkretisme raja Kertanegara memberikan pengaruh besar pada corak arsitektur candi Jawi. Unsur Siwa ditemukan pada bagian bawah candi, sedangkan unsur budha bisa dilihat pada bagian atas candi berupa bentuk dagobha (stupa). Pada tahun 1253 Saka, bagian ujung candi Jawi pernah tersambar petir.
Yang mengakibatkan kerusakan fisik bahkan hilangnya arca aksobhya (budha). Selang satu tahun setelah insiden tersebut dilakukan renovasi Candi oleh kerajaan Majapahit. Jadi pembangunan candi Jawi ini dilakukan lintas generasi dua kerajaan besar Nusantara. Proyek tersebut dibawah kuasa Raja Hayam Wuruk, Raja Kerajaan Majapahit ke-empat yang masih memiliki hubungan darah dengan leluhurnya Raja Kertanegara.
Renovasi peninggalan bersejarah ini juga sebagai bentuk penghormatan Raja Hayam Wuruk kepada leluhurnya. Ini lah yang menarik perhatian saya, ada pelajaran yang dapat dipetik dari kejadian ini. Bagaimana arifnya seorang Raja dengan kebesaranya tetapi tidak pernah lupa untuk menghormati para leluhurnya.
Tentang Arsitektur Candi Jawi
Ketika sedang serius mendengarkan penjelasan yang panjang, saya sempat terkesan dengan salah satu pernyataan. Ternyata candi Jawi ini memiliki gambaran tentang detail rancang bangunannya sendiri. Lebih tepatnya pada relif di sebelah utara. Relif tersebut menunjukan detail penggambaran arsitektur komplek candi Jawi beserta suasananya. Jika dicermati lebih dalam, saya menduga komplek candi jawi yang sekarang hanya sebagian kecil saja. Mestinya lebih luas lagi jiga ditinjau dari penggambaran pada relifnya.
Bangunan utama candi berukuran panjang 14,24 meter dan lebar 9,55 meter. Tingginya mencapai 24,5 meter menjulang ke langit, lebih tinggi dari bangunan yang ada di sekitarnya. Bentuk bangunan candi tinggi dan ramping, mirip dengan candi Prambanan yang ada di Jawa Tengah. Bangunan utama candi ini terdiri dari beberpa blok.
Dari paling bawah berupa batur, tangga, kaki, tubuh, atap, ratna dan puncaknya adalah dagobha (stupa). Bentuk atapnya seperti limas segi empat yang meruncing pada puncaknya. Pada bagian tubuh candi sahabat bisa menemukan sebuah bilik / ruangan kecil berisi yoni bermotif naga. Menurut kitab Negarakertagama dulu di dalam rungan tersebut juga terdapat beberapa arca hindu.
Sayang sekarang sudah tidak ada lagi ditempatnya, sebagian ada yang sudah dibawa ke museum. Sahabat bisa masuk ke dalam bilik candi dengan menaiki beberapa anak tangga. Ada beberapa arca disisi kanan dan kiri tangga dan pada bagian atas pintu masuk bilik terdapat ukiran banaspati. Satu hal yang menarik lagi bagi saya adalah penggunaan material batu putih (kapur) pada bagian tubuh candi. Warnanya lebih putih dan kontras dengan batu - batu penyusun candi yang lain. Dari jauh gradasi warna batu - batu candi ini terlihat elegan ketika dipandang.
Teknologi Irigasi Candi Jawi
Tentang parit atau kolam yang mengelilingi candi Jawi, ada penjelasan kusus yang berkaitan dengan sistem teknologi pengairan (irigasi). Menurut bapak M. Dwi Cahyono, air yang berada di kolam dengan kedalaman 2 meter tersebut dipasok melalui pipa air bawah tanah. Airnya berasal dari sumber air yang letaknya tidak jauh dari lokasi candi.
Beliu menujuk sebuah pohon besar arah gunung Welirang untuk memberi tanda dimana sumber air tersebut berada. Jadi air dalam parit candi Jawi terisi secara otomatis, melalui teknologi pipa air bawah tanah yang terbuat dari pahatan batu. Air dalam parit candi Jawi kemudian dialirkan lagi ke saluran bawah tanah menuju area persawahan.
Trowonganya mungkin masih berada di bawah jalan raya. Dengan sekema aliran air tersebut maka parit yang mengelilingi candi Jawi juga digunakan sebagai tempat untuk memonitor debit sumber air. Debit sumber air akan berbanding lurus dengan debit air yang berada di parit.
Dari penjelasan tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa teknolongi irigasi sudah ada dan bahkan sudah diterapkan oleh arsitek kerajaan Singosari sejak abad ke-13. Candi tidak hanya dibuat sebagai tempat peribadahan saja akan tetapi juga dirancang sebagai sarana teknologi irigasi. Pemerintah kerajaan juga memahami betul tentang air sebagai sumber kehidupan. Oleh karena itu mereka selalu memanfaatkanya secara bijak dan arif.
Relif - Relif di Candi Jawi
Penjelasan tentang relif yang terpahat pada candi Jawi memang banyak penafsiran. Pada sisi utara sudah jelas bahwa relif tersebut menggambarkan bangunan candi Jawi sendiri. Motif - motif tumbuhan yang banyak mungkin melambangkan bahwa dulunya daerah ini adalah hutan belantara. Inilah keunikan candi Jawi, mungkin hanya satu - satunya candi yang menggambarkan dirinya sendiri.
Di sisi sebelah selatan terdapat relif yang menggambarkan suasana penyambutan rombongan elit. Hal tersebut diperkuat dengan adanya simbol hewan gajah sebagai alat transportasi. Informasi yang saya dapat secara keseluruhan gambaran tentang relif di candi Jawi mengisahkan tentang perjalanan spiritual manusia. Gambaran tersebut diperankan tokoh utama seorang perempuan bernama Gayatri. Gayatri menjalani wanaprasta atau pendalaman rohani yang kisahnya dimuat pada relif candi Jawi.
Puas mengeksplorasi area utama Candi Jawi, saya bergegas menuju tempat yang paling pojok diluar parit. Saya mendapati unsur bata merah yang menjadi jejak arsitektur Kerajaan Majapahit, Material bata merah bisa sahabat lihat pada gapura (Candi bentar). Candi bentar atau gapura ini hanya tinggal bagian bawahnya. Berada di luar parit dan posisinya tidak simetris dengan banguanan utama. Saya mencoba berdiri diatas gapura bentar tersebut dan memandangi candi Jawi dari kejauhan.
Posisi gapura yang tidak simetris ini memberikan keuntungan tersendiri. Sahabat bisa mendapatkan sudut pandang candi yang berbeda. Saya merasa tampat ini yang paling strategis untuk melihat siluet candi Jawi ketika terbit matahari atau saat bulan purnama. Ada bangunan kecil di dekat gapura (candi bentar) yang mungkin sering dilewatkan pengunjung. Ruangan tersebut berisi kumpulan arca dan serpihan - serpihan benda purbakala lain. Pengunjung bisa mengamatinya dari pembtas berupa pagar besi.
Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari jelajah budaya ini. Tentag kearifan Raja Kertanegara (Singosari) dalam menjalani hidupnya. Sikap untuk selalu menghormati leluhur seperti yang diajarkan raja Hayam Wuruk (Majapahit). Pelajaran tentang arsitektur candi Jawi yang penuh dengan filosofi. Dan yang paling berkesan adalah bahwa penerapan teknologi irigasi sudah dilakukan oleh leluhur bangsa Nusantara. Mereka mengolah sumber daya alam secara bijak dan profesional. Terlepas dari itu semua, keindahan dan panorama candi Jawi memang layak untuk diapresiasi. Ini adalah sebuah wawasan dan kebanggaan yang harus dikabarkan khusunya pada generasi Nusantara.
Aksi teatrikal dari kolaborasi para seniman dan penari menjadi penutup kunjungan kami di Candi Jawi. Sekelompok orang - orang berbakat tersebut mempersembahkan maha karya yang mengesankan. Musik - musik tradisional diperdengarkan dengan penuh kekhusyukan, sementara para penari dengan penuh penjiwaan melakukan perannya. Sebuah lakon dibawakan dengan kedalaman cerita, beberapa orang hanyut dalam ekpresi – ekspresi seniman yang serius.
Saya seperti dibawa ke masa silam, masa dimana saat kerajaan Nusantara berlangsung dalam kebesaranya. Hampir semua pengunjung terbawa suasana pertunjukan. Tidak hanya sekedar menikmati tapi kami juga mendapati pesan – pean moral didalam pemesntasan tersebut. Itulah secuil cerita dari jelajah budaya di Candi Jawi. Ini masih awal, ada empat situs bersejarah lagi yang harus kami kunjungi dalam waktu satu hari.
Ikuti perjalanan kami selanjutnya "Menelisik Sejarah Prasasti Cunggrang"